Sabtu, 27 November 2021

Kampanye 16 hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

 Assalamualaikum wr.wb


Jika ada seorang wanita berjalan, kemudian ada satu orang atau kelompok orang yang menggoda atau bersiul ke wanita tersebut, apakah ini termasuk pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan?




Dalam 16 hari Anti kekerasan terhadap perempuan, Yayasan Care Peduli, bekerjasama dengan UN Woman mengadakan webinar yang bertajuk ubah narasi: "Peran Media Dalam Pencegahan Terhadap Kekerasan Perempuan"







Acara ini dilangsungkan pada Kamis, 25 November 2021 pukul 10.00-12.00 wib melalui zoom meeting. Dengan narasumber antara lain:

1. Bonaria Siahaan, selaku CEO Yayasan Care Peduli.

2. Jamshed M.Kazi, UN Woman Representatif and Laison to Asean.

3. Bintang Puspayoga, Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 

4. Elvera N.Makki, Comunication and Social Impact Advisor, VMCS Advisory Indonesia

5. Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan

6. Lola Amaria, Producer film dan publik figur 

7. Devi Asmarani, Co- Founder and Editor-in-chief, magdalence.co

8. Crestu Fitriana, National Project Officer Comunication and Information UNESCO Jakarta




Acara di buka oleh sambutan dari ibu Bonaria Siahaan, CEO Yayasan Care Peduli lalu di lanjutkan oleh bapak Jamshed M.Kazi perwakilan dari UN Woman Representatif and Laison to Asean.




Beliau memaparkan bahwa seperti diketahui angka kekerasan terhadap perempuan sebenarnya lebih besar di bandingkan dengan data yang ada, karena kekerasan terhadap perempuan biasanya di sembunyikan, di toleransi, dan banyak korban yang tidak di dengarkan.


Memberanikan diri untuk bersuara, mereka sering kali di bungkam oleh stigma rasa malu, dan rasa takut terhadap pelaku.


Untuk mendapatkan bantuan dan keadilan, hal itu telah mendorong mereka untuk bersuara di media sosial. Karena kasusnya viral dan mendapatkan perhatian publik dan suaranya di dengar, tidak sedikit yang beranggapan kalau mereka berpura-pura menjadi korban untuk mendapatkan perhatian atau menjadi terkenal.


Ini adalah perilaku menyalahkan korban yang sangat klasik. Mengapa kita khususnya masyarakat terkadang sulit sekali mempercayai para korban, padahal mereka harus mengumpulkan keberanian untuk menceritakan tentang pelecehan dan kekerasan seksual yang mereka alami kepublik dan media, yang dapat beresiko tinggi terhadap reputasi korban bahkan kehormatan dan keamanan pribadi mereka.


Kita perlu bersuara untuk mereka, mendukung mereka, dan mendukung komunitas penyintas di media ketika mereka membutuhkan kita.


Dengan dimulainya kampanye 16 hari Anti kekerasan terhadap perempuan untuk menciptakan perubahan nyata, bapak Jamshed M.Kazi mengundang anda untuk "Orange The World End Violence Against Woman Now" untuk masa depan yang lebih cerah, bebas dari kekerasan dan stop kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.


Di sela-sela kesibukannya, Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ibu Bintang Puspayoga pun memaparkan bahwa hampir 2 tahun pandemi covid-19 telah membawa beragam tantangan bagi kehidupan perempuan.





Menurut survei Pengalam hidup perempuan nasional tahun 2016 sangat mengejutkan bahwa 1 dari 3 perempuan yang berusia 15-64 tahun  pernah mengalami kekerasan fisik dan / atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Dan di tahun 2020 menurut catatan tahunan Komnas perempuan, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat menjadi 8x lipat. 


Menurut data Simfoni PPPA per Maret 2020- Oktober 2021 terdapat 14.971 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan jumlah korban sebanyak 15.125 orang.


Penggunaan gawai secara intensif untuk kegiatan daring di masa pandemi pun telah menghadapkan perempuan pada bentuk kekerasan baru, yakni kekerasan berbasis Gender online (KBGO) yang pada tahun 2019 terdapat 241 kasus, dan meningkat menjadi 940 kasus di tahun 2020.


Ada 5 arahan Presiden Republik Indonesia kepihak kementerian, antara lain:

1. Peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berspektif gender 

2. Peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/ pengasuhan anak. 

3. Penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak

4. Penurunan pekerja anak 

5. Pencegahan perkawinan anak.


Upaya penurunan kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan secara prematif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dan media berperan di wilayah prematif dan preventif, untuk itu media hendaknya tidak melakukan seksualisasi, stereotyping, dan menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas dan tetap mengedepankan etikad jurnalisme dalam menceritakan kasus kekerasan terhadap perempuan.


Bapak Veryanto Sitohang dari Komisioner Komnas Perempuan mengemukakan bahwa media pun harus mempunyai kode etik jurnalis yang mengedepankan pemenuhan hak korban seperti:

1. Tidak mengungkap identitas korban dan pelaku anak 

2. Tidak melakukan stigmatisasi Korban sebagai pemicu kekerasan

3. Tidak mengukuhkan stereotype kepada korban

4. Tidak kembali melakukan penghakiman kepada korban

5. Tidak menggunakan diksi yang bias 

6. Tidak menggunakan narasumber yang bias ( yang tidak ada kaitannya dengan substansi pemberitaan)

7. Tidak melakukan replikasi kekerasan 

8. Tidak mencampurkan fakta dengan opini dan tidak mengandung informasi yang cabul dan sadis.


Lola Amaria sebagai seorang artis yang tidak lepas dari media pun tetap mengedepankan hak-hak atas pekerja perempuan yang bekerja sama dengannya.


Ibu Devi Asmarani Co-Founder and Editor-in-chief magdalance.co dan ibu Cresti Fitriana seorang National Project Officer Comunication and Information UNESCO Jakarta yang hadir dalam acara tersebut pun sepakat untuk mengedepankan hak-hak perempuan dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan, tentu saja dengan peran serta media.




Indonesia yang aman bagi perempuan tidak akan tercipta tanpa dukungan dan sinergi dari seluruh pihak terutama media.  


Terima kasih, 

Wassalam.




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar